Reinkarnasi Kepahlawanan Pada Diri Guru
Oleh : Ahmad Munir Pahlawan, S.Pd *
Doc. MAN 2 Alor |
Siklus peradaban kehidupan manusia kian hari kian kompleks. Tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi ditengah gencarnya arus modernisasi pun tak tertahankan. Semua bidang kehidupan manusia hampir tak terpisahkan dari moncernya teknologi, bahkan hampir tidak ada sendi kehidupan manusia yang bisa jauh dari gencarnya arus modernisasi yang berbasis pada teknologi.
Demikian halnya dengan kompleksitas dunia pendidikan dewasa ini. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan jumlah penduduk 268.583.016 jiwa per 30 Juni berdasarkan Data Kependudukan Semester I 2020 harus menjadi corong dan kompas pendidikan dunia. Mengapa tidak? Finlandia yang merupakan negara dengan populasi Pertumbuhan Penduduk 0,36% saja bisa memperoleh predikat sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Finlandia selalu menempati skor terbaik dalam survei penilaian siswa internasional (PISA) yang dilakukan tiga tahun sekali sejak tahun 2000 hingga sekarang. Mengapa Indonesia tidak?
Indonesia harus bisa berlari mengejar ketertinggalan di dunia pendidikan saat ini. Jangan sampai ditengah maraknya teknologi dan boomingnya kelompok demografi setelah Generasi X (Kaum Milenial) di Indonesia saat ini justru malah melemahkan dunia pendidikan. Faktanya, potret pendidikan di Indonesia saat ini seakan penuh dengan kesan transaksional dan pragmatis. Barangsiapa yang berduit maka dialah yang menikmati manisnya pendidikan, barangsiapa yang kuat relasi sosialnya maka dia pula yang memperoleh jatah untuk bergelut di dunia pendidikan. Hal ini kemudian sinonim dengan pandangan praktisi filsafat, Rocky Gerung yang mengatakan bahwa “Ijazah pada faktanya hanya sebagai bukti bahwa seseorang pernah bersekolah atau berpendidikan, namun tidak menjadi bukti bahwa seseorang pernah berpikir”. Asumsinya adalah pendidikan saat ini seolah-olah hanya dilegitimasi oleh ijazah, pendidikan tidak lagi menitikberatkan pada Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa "Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Jika pendidikan hanya dilegitimasi oleh ijazah maka muaranya adalah pendidikan tidak lagi menjadi wahana sakral bagi kaum berpikir, melainkan pendidikan hanyalah sebagai sarana tak berfaedah yang bertujuan untuk memuaskan nafsu kepentingan kaum borjuis dan pragmatis. Oleh sebab itu, pada momentum Hari Pahlawan yang sesaat lagi akan kita rayakan pada tanggal 10 november nanti, penulis sebagai seorang pendidik (guru) perlu mengajak kepada seluruh pendidik di seluruh persada nusantara agar mari kita merevitalisasi diri untuk menjawab kebutuhan pendidikan nasional dewasa ini. Pendidikan yang tidak lagi berbasis pada kebutuhan transaksional dan pragmatis, melainkan pendidikan yang visioner, transparan dan konstruktif dalam rangka untuk mengubah wajah Indonesia dalam menghadapi ketatnya persaingan di dunia pendidikan internasional.
Guru yang notabenenya sebagai peletak batu pertama peradaban pendidikan harus kaya inovasi dan menjunjung tinggi azas profesionalitas keprofesiannya. Akan seperti apa wajah pendidikan Indonesia di masa depan sangat bergantung pada peran guru saat ini. Guru tidak harus memperoleh gelar Bintang Mahaputra untuk mempertegas perannya kepada negara, guru juga tidak harus diganjar gelar Pahlawan Nasional sebagai simbol kontribusinya kepada bangsa. Namun, peran dan kontribusi guru cukup dibuktikan dengan cara berusaha untuk menggeser air mata penderitaan para orang tua yang menginginkan anaknya bisa bersekolah. Guru juga cukup hadir untuk membantu merawat harapan para orang tua yang menghendaki anaknya menjadi manusia (manusia dalam perspektif orang Alor Baranusa adalah generasi yang berguna dan bermanfaat bagi banyak orang). Istilah manusia bagi orang Alor Baranusa ini pun sejalan dengan tujuan pendidikan yang diungkapkan oleh John Dewey bahwa “pendidikan adalah proses untuk membantu manusia menjadi berkembang dan memanusiakan manusia sehingga pendidikan membantu manusia untuk membuat dirinya menjadi sempurna”. Artinya bahwa untuk menjadi manusia seutuhnya maka pendidikanlah yang menjadi sarana penunjangnya. Jangan sampai anak manusia menjadi bodoh di lumbung ilmu, demikian istilah yang sepatutnya menggambarkan betapa banyaknya lembaga pendidikan yang tersebar di pelosok negeri, namun masih banyak juga para anak bangsa yang miskin ilmu dan menjadi pengemis di jalanan hanya untuk bertahan hidup.
Mayoritas guru meskipun harus tertatih-tatih karena tuntutan profesinya tidak seimbang dengan ganjaran penghasilan yang diperoleh, namun hal itu tidak harus menjadi alasan untuk para guru mengabaikan profesionalitas kerjanya. Guru harus terus berpacu dengan segudang ilmu yang dimilikinya untuk mengasah sejumlah potensi luar biasa yang ada pada diri para anak bangsa. Guru tidak hanya dituntut untuk melek ilmu, namun guru juga harus melek teknologi sebab teknologi telah menjadi elemen terpenting yang senantiasa menyertai setiap denyut nadi pendidikan. Guru tidak harus berambisi untuk menjadi kaya karena profesinya, sebab meskipun guru miskin harta namun sesungguhnya guru kaya akan ilmu pengetahuan. Guru harus terus mempertebal cakrawala berpikirnya sebab banyak otak manusia yang menggantungkan harapan masa depannya pada otak guru, jika otak guru lemah maka akan lemah pula otak anak didiknya. Guru harus terus belajar untuk melengkapi khazanah keilmuannya, sebab guru harus padat ilmu bukan padat halusinasi. Guru harus terbang tinggi untuk menangkap sejumlah inspirasi kehidupan laksana burung yang berpindah dari satu ranting ke ranting yang lain, sebab setiap ungkapan yang keluar dari mulut guru adalah sumber inspirasi bagi generasi yang dididiknya. Guru harus yakin bahwa setiap kata yang diuraikan pasti mengandung amalan, setiap langkah kaki yang diayunkan pasti terselip keberkahan dari Allah SWT dan setiap keteladanan yang dicontohkan pasti bermuara pada ganjaran pahala yang berlipat ganda.
Pada akhirnya, semoga guru mampu menjadi harapan masyarakat Indonesia untuk menjadi palang pintu terakhir jika negara sedang ditimpa krisis generasi. Mari belajar dari Jepang yang ketika menyerah kepada sekutu, maka Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jenderal yang tersisa lalu bertanya kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Para jenderal pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walaupun tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”.
Demikian potret kepahlawanan yang ada pada diri guru, semoga pada momentum menyongsong hari pahlawan ini, guru semakin menguatkan posisinya sebagai pahlawan sejati bagi umat manusia. Pahlawan yang berjubah keikhlaskan dan ketekunan, pahlawan yang tak kenal lelah menggoreskan tinta emas pada diri setiap generasi, pahlawan yang tak membutuhkan pengakuan tertulis. Melainkan potret kepahlawanan itu tumbuh subur dan terus lestari pada diri setiap generasi bangsa.***
*) Penulis adalah staf pengajar pada MAN 2 Alor
Sumber : https://situs.man2alor.sch.id/2020/11/reinkarnasi-kepahlawanan-pada-diri-guru.html
Post a Comment